Rabu, 05 April 2023

Kesenjangan Sosial Jarak Antara Ilmu Ekonomi dan Antropologi Ekonomi

 Tugas Narasi 

Mata Kuliah : Antropologi 

Dosen Pengampuh : Serepina Tiur Maida, S.Sos., M.Pd., M.I.Kom., C.AC


Nama Mahasiswa : Yudithia 
Jurusan : Fakultas Hukum
NIM : 233300040009

Kesenjangan Sosial Jarak Antara Ilmu Ekonomi dan Antropologi Ekonomi


    Ketidakmerataan. Kata itu beberapa kali kita jumpai di kehidupan sehari-hari - di surat kabar, di media sosial, di televisi, di buku-buku sekolah, di jurnal ilmiah, dan lain sebagainya. Ketidakmerataan ini banyak jenisnya, tetapi yang menjadi fokus utama dalam tulisan ini adalah ketidakmerataan yang menyebabkan kesenjangan sosial. Lebih tepatnya, tidak meratanya persebaran sumber daya di dalam masyarakat, yang fungsinya menunjang penghidupan masyarakat tersebut.


    Kesenjangan ini menyebabkan terbentuknya kelas-kelas sosial di antara masyarakat. Grant (2001) menyebutkan bahwa teori Marx dan Weber mengenai kelas-kelas sosial yang meskipun memiliki dua tali yang berbeda (Marx mengaitkan kelas sosial dengan kepemilikan atas produksi, sedangkan Weber mengaitkan kelas sosial dengan pasar tenaga kerja), keduanya sempat bersinggungan: bahwa dalam analisis kelas, pusat pertimbangannya merupakan kendali atas sumber daya. Menurut beberapa ahli Sosiologi, secara umum ada tiga faktor yang faktor yang menyebabkan seseorang tergolong ke dalam suatu kelas sosial tertentu, yaitu kekayaan dan penghasilan, pekerjaan, dan pendidikan.


    Tidak bisa dipungkiri bahwa uang merupakan hal yang membuat kita masih bisa hidup hingga saat ini. Kita harus menyadari bahwa pada dasarnya kelas sosial merupakan suatu cara hidup. Diperlukan banyak sekali uang untuk dapat hidup menurut cara hidup orang berkelas sosial atas. Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan profesional lebih berfungsi daripada penghasilan yang berwujud upah pekerjaan kasar. Sumber dan jenis penghasilan seseorang inilah yang memberi gambaran tentang latar belakang keluarga dan kemungkinan cara hidupnya. Pekerjaan juga merupakan aspek kelas sosial yang penting, karena begitu banyak segi kehidupan lainnya yang berkaitan dengan pekerjaan. Jika dapat mengetahui jenis pekerjaan seseorang, maka kita bisa menduga tinggi rendahnya pendidikan, standar hidup, teman bergaul, jam bekerja, dan kebiasaan sehari- harinya. Pendidikan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap lahirnya kelas sosial di dalam masyarakat, hal ini disebabkan karena apabila seseorang mendapatkan pendidikan yang tinggi maka memerlukan biaya dan motivasi yang besar, kemudian jenis dan tinggi- rendahnya pendidikan juga mempengaruhi jenjang kelas sosial.


    Jika semuanya ditarik lagi, fenomena kesenjangan sosial yang ingin kami angkat berhubungan dengan tidak meratanya persebaran alokasi sumber daya - sumber daya ini dapat mencakup banyak hal, seperti alat produksi, sumber daya alam, sumber daya sosial, sumber daya ekonomi, sumber daya manusia, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, kelas-kelas sosial ini memiliki akses yang berbeda-beda atas semua sumber daya tersebut.


    Analisis dan pendekatan tiap disiplin ilmu berbeda terhadap fenomena sosial ini. Dalam mata kuliah antropologi ekonomi yang kami arungi satu semester belakangan, kami diajarkan bahwa pendekatan antropologi ekonomi berbeda dengan pendekatan yang dilakukan oleh disiplin ilmu ekonomi. Hal ini membuat kami bertanya-tanya: bagaimana cara mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi menyikapi analisis atas kesenjangan sosial?


Antropologi Ekonomi Versus Ilmu Ekonomi


    Sebelum masuk ke bagian tanggapan mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi dalam menyikapi kesenjangan sosial, kami akan membahas terlebih dahulu mengenai perbedaan antara antropologi ekonomi dengan ilmu ekonomi yang ditinjau dari berbagai hal. Hal pertama perihal antropologi ekonomi adalah fokusnya yang lebih memperhatikan perekonomian ‘primitif’ dan peasant (petani). Sistem perekonomian ini merupakan sistem yang dijalankan masyarakat luar Eropa pada masa kolonial dan kini masih hidup di masyarakat-masyarakat bekas daerah jajahan. Kedua perekonomian ini tidak didominasi oleh pertukaran uang, melainkan pertukaran distribusi dan resiprositas. Karena hal tersebut yang memasuki ranah sosio-kultural, perekonomian ini menjadi perhatian ahli antropologi.


    Antropologi ekonomi berfokus pada fenomena ekonomi dalam masyarakat sederhana terintegrasi dengan sistem sosial dan budaya masyarakat dan merujuk pada setiap tindakan ekonomi itu didasari pada sistem budaya. Dengan memperhatikan sistem budaya tersebut, maka aspek manusia sebagai pelaku ekonomi menjadi nampak dalam kajian. Antropologi ekonomi dalam perkembangannya tidak bisa terlepas dari ilmu ekonomi, karena saling berdampingan.


    Ciri selanjutnya adalah kajian antropologi ekonomi menemukan adanya sebuah integrasi yang rapat antara institusi ekonomi dengan institusi kemasyarakatan. Kondisi seperti ini mungkin membuat suatu hal yang tidak mungkin bagi mereka untuk melukiskan fenomena ekonomi tanpa pada waktu yang sama menunjukkan aspek-aspek sosio-kultural yang terkait. Dalam prakteknya, para ahli antropologi mungkin tidak akan memperhatikan masalah-masalah fluktuasi (ketidaktetapan) produksi dalam hubungannya dengan harga karena kategori harga tidak hidup di lapangan. mereka mungkin memperhatikan masalah alokasi budak dan sistem perkawinan yang berhubungan dengan alokasi barang maupun jasa karena masalah tersebut hidup dalam kehidupan masyarakat.


    Secara umum, sebenarnya perbedaan antara antropologi ekonomi dengan ilmu ekonomi adalah perihal fokus studinya. Hudayana (2018) menyatakan sebagai berikut: “Meskipun ilmu ekonomi mempelajari tindakan, tetapi kajiannya nampaknya mengabaikan peranan pelaku (agent), dalam arti meskipun unit analisisnya adalah individu sebagai pelaku tindakan ekonomi, namun perhatiannya lebih ditekankan pada hasil tindakan bukan pikiran pelaku pasar.” Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada antropologi ekonomi, fokus studinya lebih mengarah kepada aktivitas proses terjadinya sebuah transaksi ekonomi. Di sini antropologi ekonomi juga melihat beberapa hal di luar faktor ekonomi, yaitu sosio-kulturalnya. Tetapi ilmu ekonomi berfokuskan kepada hasil dari transaksi tersebut, yaitu uang (Hudayana, 2018).


    Frankenberg (1975: 48) melukiskan orientasi ilmu ekonomi sebagai berikut: “economist are not concerned with social organization or human behavior, but rather with behavior of price, income determinants, capital ratios, and other impersonal matters relating to the performance of nationally-integrated, industrialized market economies”. Sedangkan Firth (dalam Cohen, 1975:93) mengemukakan bahwa tugas utama antropologi ekonomi adalah sebagai berikut: “The main task of economic anthropology is to study of how men organize their activities in solving the problem of allocation within the limits, as transformed by their culture, technology and and state of knowledge, their structure and culture”.


    Kekhasan dari studi antropologi memang terletak dalam menekankan pada kajian tentang aspek fisik, sosio-kultural yang terjalin dengan gejala ekonomi (Dalton 1968a:154). Perhatiannya juga memberikan porsi yang besar pada masalah teknologi dan lingkungan, karena keduanya juga mempunyai kaitan dengan variabel-variabel ekonomi, seperti tingkat harga, tingkatan dan kualitas produksi, income dan investasi (Gladwin, 1989:398). Sedangkan, ilmu ekonomi baru memperhatikan aspek sosio-kultural, teknologi, dan lingkungan kalau saja ekonom yang bersangkutan benar-benar tertarik dan mengetahui bahwa variabel non-ekonomi tersebut mempunyai kekuatan yang mampu mempengaruhi variabel ekonomi.


Perbedaan dalam metode penelitiannya juga memiliki perbedaan yang signifikan. Bila digambarkan dalam tabel perbandingan, dua disiplin ini dapat dilihat sebagai berikut :


Tabel Perbandingan Ilmu Ekonomi dengan Antropologi Ekonomi


    Dengan demikian, studi antropologi ekonomi masih berkiblat pada pendekatan holistik yang menjadi ciri khas dari kajian antropologi budaya yang menghindari analisis beberapa gejala yang bersifat reduksionalis (menyederhanakan hal yang kompleks, malah menjadi tidak kompleks).


    Dapat ditarik benang merahnya bahwa sebenarnya ekonom lebih cenderung hanya memperhatikan aktivitas ekonomi yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur berdasarkan atas nilai uang. Beberapa aktivitas domestik yang dilakukan para ibu rumah tangga dan pertukaran barang dan jasa antar warga masyarakat yang bersifat sosial sering luput dari perhatian ekonom. Malah hal ini bagi para antropolog justru mendapatkan perhatian yang besar karena sering menggambarkan secara riil tentang sistem ekonomi yang berlaku dalam masyarakat. Aktivitas domestik dan pertukaran sosial itu tidak dapat dipisahkan secara tegas dengan aktivitas ekonomi, misalnya saja mengenai selamatan dan pesta. Kedua aktivitas tersebut bukan semata-mata hanya sebuah kebudayaan, tetapi kedua peristiwa ini juga merupakan sebuah peristiwa redistribusi dan akumulasi surplus serta konsumsi (Hudayana, 2018).


Pendekatan Kuantitatif-nya Anak IE


    Untuk menjawab rasa penasaran kami, hari Selasa (17/12) sekitar pukul empat sore, di Kantin Sastra FIB yang lalu kami menemui tiga orang mahasiswa strata satu (S1) jurusan Ilmu Ekonomi UGM, angkatan 2018, dan sedang melakukan studi di semester 3 untuk berbincang-bincang perihal ‘kesenjangan sosial’ ini. Sangat ingat, pada saat itu hujan deras pun mengguyur FIB UGM. Suasana dingin dan tegang pun menyelimuti diri kami berdua karena akan melakukan wawancara dengan mahasiswa fakultas sebelah yang diberi label oleh masyarakat luas sebagai ‘orang-orang pintar’. Turunnya hujan membuat wawancara kami sempat tertunda dan mengharuskan mundur beberapa jam dari janji awal, karena narasumber kami terperangkap hujan dan mengakibatkan susahnya mobilitas menuju ke Kantin Sastra (Kansas) FIB.


    Pembicaraan tersebut berlangsung ngalor-ngidul dan berputar-putar - karena saat itu kami sendiri belum menetapkan definisi pasti atas kesenjangan sosial ini dengan niatan ingin memperoleh perspektif seluas-luasnya, serta ingin mendapat sudut pandang atas kerangka berpikir mereka. Ketiga mahasiswa tersebut bernama Syarifuddin, Samuel Aditya Pangestu Sitorus, dan Muhammad Bagas Ernanda. Setelah itu, kami pada akhirnya masih melakukan wawancara lanjutan secara online untuk semakin melengkapi data-data yang kami dapatkan.


    Menurut keterangan mereka, selama mereka menjalani perkuliahan, belum ada mata kuliah yang spesifik membahas fenomena ini. Salah dua mata kuliah yang mendekati pembahasan ini adalah mata kuliah ekonomi pembangunan serta mata kuliah lainnya yang berjudul kesejahteraan sosial. Tetapi ada hal yang menarik dari salah satu mata kuliah yang mereka jumpai di jurusan Ilmu Ekonomi, yaitu Sosiologi Ekonomi. Mata kuliah ini membahas tentang cara masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan akan barang ataupun jasa, namun ditinjau dari sudut pandang ilmu sosiologi atau bisa dikatakan sangat bertolak belakang sekali dengan studi ilmu ekonomi yang selalu membahas tentang materiil. Perdebatan dari mereka bertiga tentang mata kuliah ini membuat kami berdua sempat tertawa. Lalu kami pun melanjutkan pembicaraan dengan ketiga mahasiswa IE tersebut. Dari pembicaraan sore itu, kami berhasil mendapatkan beberapa poin yang menjelaskan sudut pandang anak-anak IE ini.


    Beberapa kali dalam pembicaraan tersebut mereka kembali bertolak kepada konsep rasionalitas - di mana ada asumsi dasar bahwa manusia menentukan pilihannya secara rasional, dengan maksud seseorang akan melakukan usaha dan pengeluaran yang serendah mungkin, namun mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Tindakan yang diambil berdasar rasionalitas ini akan menghasilkan batas-batas willingness to pay and to accept seseorang - dan, menurut Syarif, hal ini lah yang pada akhirnya menyebabkan jarak antar kelas-kelas sosial tersebut atau dapat disebut sebagai kesenjangan sosial.


    Dalam fenomena kesenjangan sosial, mereka berpendapat bahwa kesenjangan adalah hal yang inevitable atau tidak terelakkan. Maka dari itu, dengan commonnya kesenjangan sosial ini, mereka juga menawarkan asumsi bahwa, bisa jadi, kesenjangan sosial ini bukan sebuah masalah bagi beberapa pihak, baik yang terkena dampaknya secara langsung maupun tidak. Ya memang benar kesenjangan sosial itu muncul, namun ‘hanya’ hadir di tengah kehidupan masyarakat, tetapi belum tentu hal itu menjadi permasalahan semua orang. Menyambung perihal kesenjangan sosial merupakan hal yang inevitable, Samuel sempat memberikan contoh kasus, yaitu Malthusian Trap. Malthusian Trap merupakan teori yang menyatakan bahwa seiring pertumbuhan pertanian, bila beriringan dengan pertumbuhan populasi manusia, akan muncul fase di mana sumber daya-nya tidak mencukupi.


    Kesenjangan sosial dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang. Menurut mereka, kesejahteraan seseorang dapat diukur. Ukuran-ukuran ini melalui berbagai indikator-indikator, serta bersifat sangat subjektif bagi tiap-tiap individu. Indikator-indikator ini merupakan indikator materiil, pun ketika non-materiil, pada akhirnya akan tetap dapat diukur melalui data-data kuantitatif. Tetapi tolak ukur bahwa seseorang mengalami kesejahteraan atau tidak itu masih kabur atau belum bisa ditentukan secara spesifik. Kembali lagi di awal, bahwa kesejahteraan sosial ini sifatnya sangat subjektif dan semua orang pun memiliki pendapat yang berbeda-beda.


    Samuel berpendapat dengan memberikan contoh nyata bahwa menurut anak IE, masalah kesejahteraan sosial itu ia tidak bisa dapatkan informasinya dengan memberikan kuesioner secara langsung kepada masyarakat untuk menanyakan dampak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat secara langsung, namun menggunakan data yang sudah ada dari berbagai studi yang sudah dilaksanakan. Maka dari itu, pembicaraan ini membuat kami menyimpulkan bahwa kerangka berpikir IE (atau Ekonomika dan Bisnis secara keseluruhan) berlandas pada data-data kuantitatif - berbeda dengan antropologi yang mengandalkan data kualitatif yang didapat dari riset-riset empiris dengan langsung terjun ke dalam masyarakat.


    Melihat beberapa aspek yang secara implisit mereka siratkan, kami menyimpulkan bahwa secara sederhana di situlah letak perbedaan pendekatan antropologi dan pendekatan ilmu ekonomi: penilaian antropologi berbentuk kualitatif sedangkan penilaian ilmu ekonomi berbentuk kuantitatif. Seperti yang disampaikan oleh Hudayana (2018) bahwa antropologi memperhatikan pelaku ekonomi, hal ini berarti secara kualitatif antropologi menganalisa proses terjadinya suatu fenomena, sedangkan ilmu ekonomi yang memperhatikan hasil ekonomi menganalisa secara kuantitatif yang datanya didapat dari garis akhir proses sebuah fenomena.


    Dalam fenomena kesenjangan sosial, pada akhirnya pandangan antropologi dan ilmu ekonomi sama: bahwa kesenjangan sosial berbentuk jarak-jarak antar kelas sosial. Pun pada akhirnya, kami semua juga sama-sama sepakat bahwa salah satu penyebab kesenjangan sosial ini merupakan tidak meratanya sumber daya. Yang berbeda terletak pada cara analisa masing-masing disiplin ilmu terhadap fenomena ini.


Ekonomi Kultural: Sebuah Jalan Tengah

    Setelah bergulat dengan kebingungan untuk menentukan titik temu antara pandangan antropologi ekonomi dengan ilmu ekonomi dalam menyikapi kesenjangan sosial yang sudah dibahas di atas tadi, kami berdua lantas berpikir apakah jalan tengah dari kedua sudut pandang ini dalam menyikapi kesenjangan sosial adalah ekonomi kultural? Kami pun mulai mencari dari berbagai sumber dan menemukan definisi yang matang untuk menemukan jalan tengah dalam menyikapi kesenjangan sosial ini.


    Hudayana (2018) menuliskan hal berikut di dalam bukunya: “Namun menurut hemat saya ekonomi kultural diarahkan pada upaya antropolog memahami tingkah laku dengan memposisikan manusia sebagai homo-sapien yang menggunakan simbol pengetahuan budayanya dalam melakukan rasionalisasi, kontrol, kontestasi, dan kerjasama dalam aktivitas produksi, dan memanfaatkan sumber daya ekonomi termasuk mewujudkan kebiasaan konsumsi masyarakat.” Pernyataan ini menyatakan bahwa di balik rasionalisasi manusia, ada pengaruh atas pengetahuan budaya yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan tindakan. Tidak bisa dipungkiri juga, sebagai manusia kita selalu ingin mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan usaha yang seminimal mungkin. Namun, dalam hal ini keberhasilan untuk mencapai sesuatu juga dipengaruhi oleh pengetahuan yang mendasari kita dalam bertindak dan juga latar belakang sosial kita sendiri.


    Samuel sepakat dengan kerangka berpikir kami berdua bahwa ekonomi kultural ini lah yang menjadi titik temu antara perspektif antropologi ekonomi dengan ilmu ekonomi. Pengetahuan budaya-lah yang melatarbelakangi rasionalitas manusia. Menurut kami berdua, studi ekonomi kultural ini sangatlah penting dalam menunjukkan bahwa kebudayaanlah yang memegang kendali dinamika ekonomi pada era modern ini atau pada masa kini sering disebut-sebut sebagai era e-commerce. Dengan adanya ekonomi kultural, diharapkan para antropolog pun dapat menghendaki agar studinya ini dapat menunjukkan adanya warna dan muatan budaya dalam menggambarkan kehidupan ekonomi masyarakat yang sedang diteliti, baik di sektor produksi, distribusi, maupun konsumsi.


    Faktanya, dunia pada masa kini sudah mulai dikendalikan oleh e-commerce dalam bentuk penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik, seperti di sosial media, internet, televisi, maupun radio. Dengan adanya e-commerce ini reproduksi simbol bisa digunakan secara kreatif, kompetitif, dan intensif di dalam membangkitkan hasrat, nafsu, kebahagiaan, kesadaran akan identitas diri dan kekuasaan kepada masyarakat untuk bergabung dalam mengembangkan bisnis.


    Sebenarnya, antropologi ekonomi tidak hanya berfokus pada berbagai lembaga e-commerce muncul dan bekerja untuk mengadu nasib dan menguasai sumber daya ekonomi saja, tetapi juga menyimak bagaimana para pedagang, produsen, dan konsumen bertransaksi melalui peran dari lembaga bisnis e-commerce tersebut. Antropolog akan menemukan berbagai rekayasa budaya, dari nilai, dan simbol, serta kebiasaan dan kelakuan manusia untuk dimanfaatkan dalam melakukan transaksi ekonomi.


    Ekonomi kultural juga dapat ditangkap sebagai penyatuan data kualitatif dan data kuantitatif - karena dari hasil tindakan ekonomi seseorang, ada proses ekonomi yang mempertimbangkan aspek-aspek pengetahuan kebudayaannya. Sisi pengetahuan budaya ini tidak akan didapatkan melalui analisa kuantitatif melainkan melalui analisa kualitatif. Meskipun begitu, analisa kuantitatif tetap dibutuhkan guna membuktikan tindakan rasionalisasi tadi.


    Mirip dengan argumen Shore (2006) bahwa “For that, we need more politically grounded, historical and materialist perspectives that can enable us to diagnose processes that lie beyond empirical observation.” Di balik data-data empiris, harus ada teori-teori yang grounded. Menurut kami, teori-teori yang grounded ini tidak hanya melulu didapatkan melalui perspektif materialisme. Maksud keberadaan teori ini yang berguna mengunci hasil data-data empiris menjadi lebih pasti dan tidak melayang-layang juga bisa didapatkan melalui data-data kuantitatif yang sering digunakan oleh ilmu ekonomi.


    Di situlah peran utama dari adanya studi tentang ekonomi kultural, membantu peran antropologi ekonomi dan ilmu ekonomi dalam mencari titik temu untuk saling melengkapi dan saling membantu dalam menganalisis sebuah fenomena sosial.